Berita

SUBSCRIBE HERE!

Enter your email address. It;s free!

Gayatri Mantram

On Sabtu, Maret 01, 2025



Sudah banyak diantara umat Hindu yang mengenal dan hapal mantra Gayatri, namun belum semua diantara yang hapal dan mengenal mantra Gayatri mengetahui apa saja kegunaan dari mantra yang sangat universal ini dan dianggap sebagai ibunya mantra.

Untuk itu saya mencoba menyampaikan sedikit pengalaman mempergunakan mantra Gayatri dalam kehidupan sehari-hari dan dampak sampingan bagi kita untuk meningkatkan tingkat spiritual masing-masing. Sebelumnya, perlu diketahui yang lebih penting dari pada itu adalah pemahaman tentang keberadaan diri kita sendiri yaitu bahwa kita lahir ke dunia bukanlah seorang diri. Secara kodrat sudah ditentukan bahwa manusia itu lahir ke dunia bersama dengan delapan saudara kembarnya sehingga menjadi sembilan dengan dirinya. Empat berada di luar diri manusia dan lima berada di dalam diri manusia yang dikenal dengan sebutan “sedulur papat kelima pancer”. Sedulur papat kelima pancer ini adalah merupakan kunci utama dari berhasil atau tidaknya seseorang mengarungi kehidupan di dunia ini dan di dunia kelanggengan. Ketika kita mau makan, berangkat kerja, sembahyang dan sebagainya kita harus mengajak mereka bersama-sama, agar kita dijaga dari hal-hal yang tidak kita inginkan.

MANTRA GAYATRI- OM BHUR BUWAH SWAH ,TAT SAWITUR WARENYAM, BHARGO DEWASYA DHIMAHI, DHIYO YO NAH PRACODAYAT.

Dengan mengucapkan mantra Gayatri secara berulang-ulang minimal 108 kali sesering mungkin untuk mengagungkan, menyembah Dia, maka kita akan memperoleh ketenangan jiwa dan pikiran, caranya :

Ucapkan pertama Om Awignham Astu Namo Siddham sebelum kita memulai . Selanjutnya ajak saudara kita(nyama papat) untuk sembahyang : Sedulurku papat kelima pancer, kakang kawah adi ari-ari kang lahir tunggal dine, tunggal dalam kadangku, tuwo lan sinom podo, mari kita sama-sama menyembah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ucapkan OM TAT SAT EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN, selanjutnya japa gayatri dengan khusuk( minimal 108 kali.)

Gayatri Mantram adalah sebuah mantra yang khadamnya adalah kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sangat tergantung dari tingkat kesucian pikiran dan hati dari yang mengucapkannya. Walaupun sepuluh orang sama-sama mengucapkan mantra Gayatri, tapi hasil tidak akan sama tergantung kesucian hati dan pikiran masing-masing. Namun demikian, dengan lebih sering berjapa Gayatri Mantram kita akan sedikit demi sedikit dapat mencapai kesucian itu. Teruslah berjapa dan jangan pernah bosan. Lambat tapi pasti, ketenangan jiwa akan mulai terasa. Sabar, sabar, dan sabar, karena sabar itulah kunci dari kesuksesan kita.

sumber : https://desasedang.badungkab.go.id/

Kembali Mulat Sarira

On Sabtu, Maret 01, 2025


Sarira itu tubuh. Kata ‘mulat’ dalam bahasa Kawi berarti melihat. Jadi, ‘kembali mulat sarira’ ialah kembali melihat tubuh. Jargon ‘mulat sarira’ seringkali disinonimkan dengan ‘introspeksi diri’. Tubuh dan diri seringkali diperlakukan sama, padahal sekaligus berbeda. Masalahnya adalah bagaimana menyamakan sekaligus membedakan keduanya.

Oleh karena bertubuh maka mampu berdiri. Ia yang terampil menubuh disebut mandiri. Jadi, tubuh adalah sebab, diri adalah akibat. Menubuh atau bersetubuh itu luar biasa nikmatnya, karena di situ ada segala rasa, campuhan rasa. Teks-teks tattwa kuno juga berkata demikian. Semisal, ketika berkendara, terjadi persetubuhan antara pengendara dengan kendaraan. Begitu nikmatnya berkendara hingga disebut lupa diri sedang berkendara, seperti dalam kalimat, “Saya ngebut tadi lho!” Tidak ada jarak antara pengendara dengan motornya. Dalam posisi itu, kata ‘saya’ berarti diri dan tubuh. Berbeda halnya jika, “Saya berkendara ngebut tadi lho!”, tapi kalimat ini terlalu kaku diujarkan.

Keadaan ini disebut pengalaman estetis yang berpuncak pada peristiwa ekstase, lango, lupa diri. Keadaan ini mirip seperti yang digambarkan Claire Holt (2000:122) sebagai “ketiadaan yang terkonsentrasi, seperti tidak yang dikejar para seniman, yang kemudian diekspresikan dalam suatu ciptaan, karya (struktur). Jadi, menubuh atau bersetubuh adalah sebab kehadiran sesuatu, lingga harus menubuh dalam yoni dalam lupa untuk menghadirkan suatu ciptaan.

Kemudian, pembedaan atau penjarakan diri dengan (tubuh) kendaraan terjadi ketika kendaraan mengalami masalah, misalnya, “Motor saya bannya pecah”. Begitu juga dengan tubuh, “Tangan saya kotor”; “Tangan saya sakit terkena pisau”; “Kaki saya patah”. Artinya, tubuh hanya diberi kesempatan memperlihatkan dirinya secara subjektif ketika ia mengalami masalah, itupun dengan tetap dikontrol pronomina posesif saya’, tetapi sudah membedakan. Alain Badiou (2018) menyatakan, “Kalau kamu ingin hidupmu punya makna, kamu harus tetap berada dalam suatu jarak dari kekuasaan.” Artinya, dalam situasi keberjarakan atau perbedaan itulah dimungkinkan terjadinya pemaknaan. Inilah yang disebut fase etis yang memungkinkan momen’ untuk memilih, ingat dengan kebertubuhan, lalu melakukan sesuatu seperti, membiarkan atau membersihkan dan mengobati tubuh itu.

Dengan demikian, diri harus berjarak dengan tubuh untuk memberinya peluang subjektif secara kebahasaan. Lalu, bagaimana mungkin terdapat dua subjek? Artinya, ketika dua subjek terbentuk, terdapat peluang saling mengobjekkan satu sama lain, saling melihat satu sama lain, saling mengadakan. Sehingga, dengan begitu terdapat bahasa, “Itu adalah aku.” Karena sejatinya diri bersifat subjektif, maka tugas berat yang harus dilakukan adalah meletakkan diri pada posisi objek. Dengan mengobjekkan diri, dimungkinkan peristiwa diri menguasai diri, memerintah diri, mengkritik diri, bahkan membunuh diri.

Cara tradisional untuk mengobjekkan diri atau paling tidak dapat dikatakan sebagai suatu cara latihan pengobjekan adalah dengan mewujudkan diri menjadi suatu objek di luar diri, yang seringkali disebut ‘simbolisasi’ atau ‘pangawak’. Para kawi mewujudkan diri dalam sastra adiluhung seringkali dengan nama samaran sebagai penanda “bunuh diri’’ secara puitis. Para anak muda mengekspresikannya dalam wujud ‘ogoh-ogoh’. Analogi ini juga mengisyaratkan bahwa kata ‘mulat’ juga identik dengan kata bahasa Bali ‘(ma)ulat’, menjalin ikat. Mudahnya, ogoh-ogoh tidak ubahnya salah satu pemurtian diri dengan cara mulat, refleksi lihat saja wajah dan bentuk ogoh-ogoh seringkali mirip pembuatnya-umumnya berbentuk demonik.

Posisi subjek tidak pemah bisa dilepaskan dari suatu pengobjekan; diri sebagai subjek melihat diri sebagai objek yang sekaligus subjek yang juga mengobjekkan dengan memakai kata ganti orang ketiga, “ia melakukan sesuatu terhadap sesuatu”. Cara mengobjekkan diri paling mudah selanjutnya adalah dengan bercermin. Dengan bercermin, kita melihat bayangan diri dan bentuk tubuh. Bayangan di cermin itu disebut refleksi. Tentu saja, refleksi pada cermin bersifat terbalik antara kiri-kanan dan menampilkan satu sisi saja. Untung saja tidak membalik antara atas dan bawah, tetapi paling tidak sudah mampu melihat diri.

Namun, semakin jauh dari cermin diri terlihat makin kecil, namun makin utuh. Mirip dengan selfie atau swafoto dan swavideo. Selanjutnya, cara lain adalah dengan mengandalkan logika, perbandingan, dan kata para nabi. Sekali lagi, itu juga terbatas.

Cara yang paling sulit adalah dengan menutup mata (baca: indera) dan membayangkan diri dalam meditasi. Mata terpejam artinya menarik diri dari luar dan memungkinkan imajinasi. Agama menyarankan, ketika menutup mata imajinasikanlah Tuhan, penguasa jagat raya, dewa idola, istadewata. Apakah lalu kita mengobjekkan Tuhan? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Iya, ketika posisi kesadaran memuja, “Aku memuja Tuhan”. Tidak, ketika dalam posisi mensubjekkan, “Tuhan datang dan memberkatiku.” Juga tanpa keduanya, posisi setara, “aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku”.

Situasi mata terpejam hampir sama dengan sedang tidur lalu bermimpi. Di dalam mimpi kita bisa melihat diri sedang melakukan apa terhadap apa. Namun, kata ‘mimpi’ selalu diidentikkan dengan keadaan bawah sadar atau ketidaksadaran. Padahal, menurut Freud, dalam mimpilah pengalaman melihat diri yang sejak lama direpresi oleh kesadaran. Dalam mimpi juga, diri sejati dapat dialami, diri yang melihat diri yang jujur atau tanpa represi.

Setelah itu, apakah kita terus-menerus memejamkan mata dalam meditasi atau bermimpi agar dapat melihat diri yang jujur? Dalam meditasi ternyata ada jebakan ‘lupa diri’ tadi, lupa makan, lupa minum, lupa mendunia, lupa daratan, dan tentu saja lupa sedang menjadi manusia. Di situlah jargon mulat sarira memegang posisi kunci sebagai epistemologi Bali; tubuh sebagai gudang pengetahuan. Mulat sarira juga kritik terhadap doktrin pencerahan, cogito ergo sum, akal sebagai pusat pengetahuan yang mengesampingkan tubuh.

Mulat sarira memungkinkan terkikisnya jarak antara mata terpejam dan terbuka, setengah terbuka setengah terpejam; mengecilnya jarak mimpi dan realitas; jarak tidur dan sadar; jarak ketidaksadaran dengan kesadaran menipis. Semakin menipis lalu manunggal. Itulah klimaks, segala objek yang diwujudkan, diimajinasikan, “dibunuh” secara religius, termasuk diri yang lain dan Tuhan yang diobjekkan, ogoh-ogoh pun dibakar. Yang tinggal hanya diri se-ati, diri yang jujur, diri yang sepi, diri yang religius. Diri kembali kepada tubuh, menyatu bersatu padu tanpa sekat dalam mulat sarira dan manusia kembali pada kemanusiaannya.

Oleh: W.A. Sindhu Gitananda
Source: Majalah Wartam Edisi 48 l Februari 2019

PANCA SRADA

On Rabu, April 24, 2024

Isi dari panca sradha adalah

  1. Percaya terhadap adanya Brahman
  2. Percaya terhadap adanya atman
  3. Percaya terhadap adanya karmaphala
  4. Percaya terhadap adanya punarbhawa
  5. Percaya terhadap adanya moksa

Pembahasan

Secara etimologi panca sradha berasal dari kata panca dan sradha. Panca berarti lima dan sradha berarti keyakinan. Jadi, panca sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu.

Penjelasan tiap sradha

1. Tuhan Yang Maha Esa / Sang Hyang Widi Wasa

Tuhan adalah sumber dari segala yang ada dan akhir dari segala yang tercipta.

Ekam eva advityam Brahman yang berarti Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.

eko narayana na dwityo’sti kascit yang berarti hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.

Dengan melihat kedua sloka diatas dapat disimpilkan bahwa Tuhan itu esa/satu tidak ada duanya.

2. Atman

Atman adalah sinar suci / bagian terkecil dari Brahman ( Tuhan Yang Maha Esa ). Atman berasal dari kata AN yang berarti bernafas. Setiap yang bernafas mempunyai atman, sehingga mereka dapat hidup. Atman adalah hidupnya semua makluk (manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya). Kitab suci Bhagawad gita menyebutkan sebagai berikut:

aham atma gudakesa, sarwabhutasaya-sthitah, aham adis ca madhyam ca, bhutanam anta eva ca

artinya :

O, Arjuna, aku adalah atma, menetap dalam hati semua makluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir daripada semua makluk. (Bhagawadgita X.20)

Sifat – sifat atman meliputi :

  1. acchedya berarti tak terlukai senjata,
  2. adahya berarti tak terbakar oleh api,
  3. akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,
  4. acesya berarti tak terbasahkan oleh air,
  5. nitya berarti abadi,
  6. sarwagatah berarti ada di mana-mana,
  7. sathanu berarti tidak berpindah – pindah,
  8. acala berarti tidak bergerak,
  9. awyakta berarti tidak dilahirkan,
  10. achintya berarti tak terpikirkan,
  11. awikara berarti tidak berubah,
  12. sanatana berarti selalu sama.

3. Karmaphala

Secara etimologi karmaphala berasal dari kata karma yang berarti perbuatan dan phala yang berarti hasil. Jadi karmaphala berarti hasil dari perbuatan yang kita lakukan. Hindu mengenal adanya hukum karmaphala yaitu hukum sebab akibat, setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan mendapakan hasilnya.

Berdasarkan waktu diterimanya phala dari suatu karma dibedakan menjadi tiga.

  • Sancita Karma Phala: Perbuatan dimas lampau/kehidupan lalu pada kehidupan sekerang kita terima hasilnya;
  • Prarabda: Pebuatan sekarang sekarang juga kita terima hasilnya;
  • Kryamana: Perbuatan pada kehidupan sekarang belum habis diterima hasilnya maka akan kita terima dapa kehidupan yang akan datang.

4. Punarbhawa

Punarbhawa berasal dari kata punar yang berarti kembali dan bhawa yang berarti menjelma/lahir. Jadi punarbhawa adalah kelahiran kembali. Punarbhawa juga sering disebut dengan Reinkarnasi.

bahuni me vyatitani janmani tava carjuna, tany aham veda sarvani na tvam vettha parantapa

arti: Banyak kelahiran-Ku dimasa lalu, demikian pula kelahiranmu, Arjuna; semuanya ini Aku mengetahuinya, tetapi engkau sendiri tidak, wahai Arjuna. (Bhagawadgita IV.5)

5. Moksa

Moksa berasaldari akar kata “muc” yang berarti bebas. Bebas dari segala ikatan karma, ikatan duniawi (suka dan duka) ikatan hidup, ikatan cinta kasih.

Tingkatan moksa:

  1. SAMIPYA, moksa dapat dicapai oleh para maha Rsi/yogi dengan kematangan tapa membuka intuisinya sehingga dapat menerima wahyu dan memahami hakekakat hidup sejati.
  2. SARUPYA/SADARMYA, moksa yang dicapai oleh kesadaran sejati ketika atman dapat mengatasi segalanya . Hal ini dapat dicapai oleh Awatara. Beliau bisa mengatasi segalanya dan dapat menentukan sendiri kapan akan meninggalkian dunia ini.
  3. SALOKYA adalah tingkatan Moksa yang dicapai oleh atman yang telah mampu mencapai tingkat Tuhan. Misalnya leluhur yang telah diaben.
  4. SAYUJYA adalah tingkat kebebasan yang paling tinggi dimana atman telah bersatu dengan Brahman. Brahman Atman Aikyam. Brahman dan Atman tunggal.

DAINIKA UPASANA MANTRA UNTUK KEPERLUAN SEHARI - HARI

On Rabu, April 10, 2024

 


Pengantar Kata



Om Swastyastu.

Om Awighnam astu namo sidham.


Atas asung kerta waranugraha Hyang Widhi Wasa saya berhasil merangkum

mantra-mantra untuk keperluan sehari-hari yang disebut dengan istilah Yadnya Sesa

atau Mebanten Saiban. Yadnya Sesa ini wajib dilakukan setiap hari sehabis memasak

sebelum makan. Hal ini sebagai bentuk nyata ucapan terima kasih kepada Hyang Widhi

dan semua manifestasinya, yaitu para Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari, Pitara-Pitari

maupun Sarwa Bhuta-Bhuti.


Adapun kita dalam melaksanakan Yadnya Sesa itu diberbagai tempat, bukan

berarti kita ini menyembah tempat itu atau Sarwa Bhuta-Bhuti yang ada disitu. Tiada

lain adalah sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Hyang Widhi yang bersifat

Wyapi wyapaka yaitu Hyang Widhi itu berada dimana-mana memenuhi segala tempat,

dan ditempat itu kita percaya ada Hyang Widhi.


Adapun tujuan kita melaksanakan Yadnya Sesa itu adalah untuk mengucapkan terima

kasih kepada Hyang Widhi yang telah menciptakan pangan kepada kita dan mohon

kepada Hyang Widhi agar kita diberikan keselamatan dalam melakukan aktifitas

kehidupan ditempat-tempat tersebut.


Dalam kita melaksanakan Yadnya Sesa tersebut tidak bisa lepas dari mantra atau

doa yang harus kita ucapkan sesuai dengan tempat yang kita tuju. Untuk itulah saya

berusaha untuk membuat tulisan ini dengan maksud untuk membantu para umat

sedharma yang membutuhkan agar dapat melaksanakan Yadnya Sesa secara rutin setiap

hari dengan penuh keyakinan.


Sudah barang tentu tulisan ini masih banyak kekurangan maupun ketidak

sempurnaannya karena keterbatasan kemampuan saya. Untuk itu dengan segala

kerendahan hati saya mohon kritik dan saran dari para pembaca demi sempurnaanya

tulisan ini.


Om Anobhadrah kratavo yantu visvatah.

Om Santi santi santi Om.


Penulis





A. Beberapa mantra yang biasa dipergunakan untuk Yadnya Sesa yang bersifat

Nitya Karma atau secara rutin setiap hari, diantaranya yaitu :


Yadnya Sesa setelah selesai memasak (Banten Saiban).


1. Di Dapur :

a. Di Tempat Beras ( Bisa juga untuk di sawah )

Doa : Om Sri Devi amŗtha Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai penguasa Amertha, hamba bersujud

pada-Mu.

b. Di Tungku tempat api / Kompor :

Doa : Om Sang Hyang Tri Agni Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Agni, sebagai penguasa penerang

dalam kegelapan, sebagai sumber energi bagi kehidupan, hamba bersujud

pada-Mu.

c. Di Tempat Penyimpanan Air :

Doa : Om Gangga Devi Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Devi Gangga, hamba ber-sujud pada-

Mu.

d. Di Pelangkiran :

Doa : Om Om Deva Datta Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Purusa Pradhana, sebagai sumber

dari kehidupan, hamba bersujud pada-Mu.


2. Di Sumur :

Doa : Om Ung Wisnu Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Wisnu, penguasa air kehi-dupan,

hamba bersujud pada-Mu.


3. Di Lubang Saluran Air Limbah / Pembuangan.

Doa : Ih Sang Kala Sumungsang Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Kala Sumungsang, hamba ber-sujud

pada-Mu.


4. Di Sanggah Merajan :

a. Di Kemulan / Rong Tiga :

Doa : Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud Wijaksara Ang-Ung-Mang atau Tri Guru,

hamba bersujud pada-Mu.

b. Di Taksu :

Doa : Om Deva-Devi Ya Namah Svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Rwa Bhineda, hamba bersujud

pada-Mu.

c. Di Penglurah :

Doa : Om Anglurah Agung Bhagawan Penyarikan ya namah svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Anglurah, sebagai perantara bagi

Sang Anembah dengan Sang Kasembah, hamba bersujud pada-Mu.

d. Di Pelinggih Sri Sedana :

Doa : Om Kvera Deva ya namah svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Sang Hyang Kwera, sebagai

penguasa kekayaan, hamba bersujud pada-Mu.


5. Di Sanggah Penunggu Karang :

Doa : Om Sang Hyang Siti Manikmaya Sang Sedahan Pekarangan ya namah

svaha.

Arti : Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai penguasa Pekarangan, hamba bersujud

pada-Mu.


6. Di Pintu Masuk Pekaranngan / Gawangan :

Doa : Om Sang Hana Dora Kala ya namah svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Dora Kala, hamba bersujud pada-Mu


7. Di Tempat Ari-ari :

Doa : Ih Anta Preta Bhuta Kala Dengen ya namah svaha.

Arti : Ya, Ananta, Preta, Bhuta, Kala Dengen, hamba bersujud Pada-Mu.


8. Di Pelangkiran Tempat Belajar :

Doa : Om Sang Hyang Saraswati ya namah svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan, hamba bersujud

pada-Mu.


9. Di Pelangkiran Tempat Tidur :

Doa : Om Sang Hyang Siwa Guru ya namah swaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Siwa Guru yang menguasai kamar tidur,

hamba bersujud pada-Mu


10. Di Atas Atap / Angkasa :

Doa : Om Akasa Nirmala Sunia ya namah svaha.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai penguasa Angkasa yang suci dan sunyi

tanpa noda, hamba bersujud pada-Mu.


B. Menghaturkan Segehan yang bersifat Naimitika Karma yaitu pada hari Kajeng

Kliwon dan hari-hari suci lainnya :


1. Di tempat api (tungku/Kompor) : Segehan Merah.

Doa : Ih Sang Kala Agni bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Kala Agni, semoga

Agni selalu memberi penerangan dan energi dalam kehidupan.


2. Di Tempat air dan di Sumur : Segehan Hitam.

Doa : Ih Sang Bhuta Agora bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Sang Bhuta Agora,

penguasa air, semoga selalu memberikan kesejukan dan sebagai sumber

amerta dalam kehidupan.


3. Di Pelangkiran Dapur : Segehan Putih – Kuning.

Doa : Ih Kala Kali bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Kala-Kali semoga

berkenan.


4. Di Sanggah Merajan :

a. Di Kemulan / Rong Tiga : Segehan Putih – Kuning.

Doa : Ih Sang Tiga Bucari bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Sang Kala Bucari,

Bhuta Bucari, Durga Bucari, semoga berkenan.

b. Di Taksu: Segehan Putih – Kuning.

Doa : Ih Ang Khang Kasolkaya Sarwa Bhuta bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Bhuta-Bhuti dalam

wujud-Mu sebagai Purusa-Predhana, semoga berkenan.

c. Di Penglurah : Segehan Hitam-Putih.

Doa : Ih Bhuta Kala bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Sang Bhuta Kala,

semoga berkenan.

d. Di Pelinggih Sri Sedana : Segehan Putih – Kuning.

Doa : Ih Sang Kala Goncang bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Sang Kala Goncang

sebagai penjaga kekayaan/sedhana, semoga berkenan.


5. Di Sanggah Penunggu Karang : Segehan Hitam-Putih.

Doa : Ih Sang Bhuta Preta bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Sang Bhuta Preta

semoga berkenan.


6. Di Tempat Ari-ari : Segehan Kepel (4 kepel).

Doa : Ih Anta, Preta, Bhuta, Kala Dengen bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Anta, Preta, Bhuta,

Kala Dengen, semoga berkenan.


7. Di Pintu Masuk Pekaranngan / Gawangan : Segehan Panca Warna.

Doa : Ih Sang Kala Ngadang bokti ya namah.

Arti : Ya Tuhan, hamba menghaturkan persembahan kepada Sang Kala Ngadang,

semoga berkenan.


Mantra Bhuta Yadnya.


1. Menghaturkan segehan warna 4 dihalaman / latar :

Mantra : Om Kala Bhucari ya namah.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Kala Bhucari, hamba bersujud pada-

Mu.

Kemudian berikan tetabuhan/minuman : tuwak, arak, berem dengan arah putaran ke

kiri 3 kali.

Mantra : Om êbêk segara ebek danu ebek banyu pramananing hulun.

Arti : Ya Tuhan, penuhlah lautan, penuhlah danau, penuhlah air dari persembahan

hamba.


2. Menghaturkan segehan warna 5 di halaman Merajan / Sanggah.

Mantra : Om Bhuta Bhucari ya namah.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Bhuta Bhucari, hamba bersujud pada-

Mu.

Kemudian berikan tetabuhan/minuman : tuwak, arak, berem dengan arah putaran ke

kiri 3 kali.

Mantra : Om êbêk segara ebek danu ebek banyu pramananing hulun.

Arti : Ya Tuhan, penuhlah lautan, penuhlah danau, penuhlah air dari persembahan

hamba.


3. Menghaturkan segehan warna 9 di pintu pekarangan / gawangan.

Mantra : Om Durgha Bhucari ya namah.

Arti : Ya Tuhan, dalam wujud-Mu sebagai Durgha Bhucari, hamba bersujud pada-

Mu.

Kemudian berikan tetabuhan/minuman : tuwak, arak, berem dengan arah putaran ke

kiri 3 kali.

Mantra : Om êbêk segara ebek danu ebek banyu pramananing hulun.

Arti : Ya Tuhan, penuhlah lautan, penuhlah danau, penuhlah air dari persembahan

hamba.

Segehan Panca Warna

Segehan ini dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya

tidak mengganggu kepada kita. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut latar

Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan

jalan.

Mengenai waktu penyajiannya bisa dilakukan tiap hari, atau hari-hari tertentu

sesuai kebiasaan dan hari-hari suci. Bahan utamanya adalah nasi berwarna, beberapa

kepel. Yang umum segehan: putih dan kuning. Tetapi ada juga segehan putih dan putih,

putih - hitam, putih - merah, merah - merah, hitam - hitam, kuning - kuning. Ada pula

yang panca warna: peletakannya sebagai berikut: putih di Timur, merah di Selatan,

kuning di Barat, hitam di Utara, panca warna/brumbun di Tengah.

Segehan panca warna merupakan segehan yang di dalamnya terdapat nasi 5 warna yang

berbeda, adapun isi dan makna dari segehan ini ialah:


1. Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. Taledan =

segi 4, melambangkan 4 arah mata angin.


2. Jahe, secara ilmiah memiliki sifat panas. Maksudnya: semangat dibutuhkan oleh

manusia tapi tidak boleh emosional/cepat panas/cepat marah.


3. Brambang, memiliki sifat dingin. Maksudnya: manusia harus menggunakan kepala

dingin dalam berbuat/menghadapi masalah, tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap

masalah-masalah sosial (masa bodoh).


4. Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab

untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah

sahananing ngaletehin).


5. Tetabuhan/minuman: Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol

secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri

yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensterilkan alat-alat kedokteran.

Metabuh/menuangkan minuman pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus,

kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.

Doa mengahturkan segehan Panca Warna / Caru:

Om Awighnam astu namo sidham.

Om Sang Kala Eka Wara, Sang Kala Dwi Wara, Sang Kala Tri Wara.

Manusianira angaturaken tadhah saji ring kala kabeh.

Mugia boten ketaman luput ring Sang Kala Tiga.

Poma, poma, poma.

Om Sarwa Bhuta Panca Warna sukha pretabyo namah swaha.

Doa Tetabuhan/menuangkan minuman dengan arah putaran kekiri:

Om Ebek Segara, ebek danu, ebek banyu pramaning ulun.

Om Ksama sampurna ya namah swaha.


MANTRA DHARMA PEMACULAN


1. Membuat tempat uritan di sawah :

Mantra : Om Pukulun Sang Ibu Pertiwi, ingsun kinongkon denira Sang Hyang

Babuan, ayu wai milaraning ingsun, tabe, tabe, tabe.


2. Ngurit padi di sawah :

Mantra : Om Pukulun sira muncar saking Akasa sumekul sira ring Pertiwi.

lemu,lemu, lemu.


3. Menanam padi di sawah :

Mantra : Ong Ana sira Resi Gana rupa pindha liman netranira abrit dumilah

angilangaken wighna ring pari. Ong.


4. Doa menolak hama penyakit padi di sawah :

Ong angloperi dera wong tikus walang sangit, caṇdhang lanas wereng, caṇdhang

uler, caṇdhang api, caṇdhang sasab, aja tiba ring sawah ira bhaṭara gurū iki,

dinangko jabaning pager, sidi mantraku.


5. Untuk mencegah datangnya tikus, dalam teks Usada Carik digunakan sarana seperti

dedes tingalun (sejenis gula tebu) yang disebarkan di sekeliling sawah dengan

mantra:

Ong Sang Hyang Putih, aja sira mangan pari ningsun, iki parin Batara Guru,

lamun sirra kawasa amangan dening kuwuk putih, kawaṣa sira mangan pari

ningsung, yan ki tan kawasa sira amangan dening kuwuk putih, tan kawaśa sira

amangan pari ningsun, sidi mantranku.


6. Metik padi di sawah :

Sarana Banten: Nasi kuning beralaskan tulung 7 buah, lauknya kuning telor dan bunga

kuning.

- Mantra : Ong Sri Mahadewa ya namah

- Mantra memanen padi : Ong Sri mider, sri mandel, mungguh sri jagat raya

namah. Ong sang pangukuhan, sang karung kalah, sang sandang gabah, sang

katung mararas, sang wretikan dayun, Angrowangana ani-ani, witana mandel

Ong sidhirastu namah swaha.


7. Menaikkan padi di lumbung :

Mantra: Ong Ih Sang Sri rumaket ring sanak putu, kadya sang yayah ibunira,

manawi sira salah tata salah lungguh, pwa sira aja mirudhani janma

manusa, apan manusa nora wruha lah tabe sira, poma, poma, poma.


8. Nandur klapa lan woh-wohan :

Mantra : Ong Bolo, bolo Ong ameteng pandakan anak-anakan sira metu

pandakan, rendah, rendah, rendah.


9. Nandur pala gantung :

Mantra : Ong Yang Rama Raja mikul buahne teka dengkak mawoh enged, teka

enged, teka enged, teka enged.


10. Nandur macam-macam tetanduran :

Mantra : Ong teka cabol saka wetan mangindhit kendhil, teka cabol saka kidul

nyangking kendhil, teka cabol saka kulon nyangking kendhil, teka

cabol saka lor nyangking kendhil, katemu padha jagongan, ing kono

padha enged, sing teka padha enged, enged, enged, enged.


11. Panugrahan nenandur :

Mantra : Ong Bhatari Pertiwi panglengkaranira Sang Matisya Ibu Kumbe.


12. Sawise nenandur :

Mantra : Ong cabol darih ungku salah parama brangbangan.


Buku Sumber : DOA SEHARI-HARI KELUARGA DAN MASYARAKAT HINDU.

Oleh : Ida Pandita Mpu Jayawijaya. Tahun 2004


**********************

MANTRA ISTA DEWATA

On Rabu, April 10, 2024

 

 

Kata Pengantar



Om Swastyastu

Om Awighnamastu namo sidham

Om Anobadrah kratavo yantu wisvatah.


Atas asung kerta waranugraha Hyang Widhi Wasa beserta segala

manifestasinya, saya mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga atas

segala anugerah yang telah dilimpahkan kepada saya sekeluarga. Demikian pula

saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para Maha Resi dan

Guru-guru besar Hindu yang Agung, yang telah menyampaikan ajaran-ajaran

suci Weda kepada umat manusia. Atas jasa-jasa beliaulah saya bisa mempelajari

mantra-mantra suci Weda dan berhasil menghimpun mantra-mantra suci

tersebut yang saya ambil dari berbagai sumber kitab suci Weda yang berhasil

diterjemahkan dan diperbanyak oleh Guru-guru besar Hindu yang Agung.

Mantra-mantra suci Weda yang saya himpun ini adalah: “Mantra Ista

Dewata” yang berkaitan dengan upacara persembahyangan / Panca Sembah

yaitu sembah yang ke-tiga ditujukan kepada Ista Dewata yang dipuja pada saat

sembahyang sesuai dengan hari suci dan tempat dimana persembahyangan itu

dilaksanakan.


Sudah barang tentu tulisan saya ini masih banyak kekurangan dan

ketidak sempurnaannya karena keterbatasan saya dibidang ilmu pengetahuan

agama. Untuk itu saya sangat mengharap atas saran dan masukan dari para

pembaca demi kesempurnaan tulisan saya tersebut.

Semoga hasil tulisan saya yang sederhana ini bisa menambah

pengetahuan dari para pembaca, utamanya para pemimpin upacara

persembahyangan dalam agama Hindu. Terima kasih.


Om Santi santi santi Om.


Penulis



1. Muspa kepada Sang Hyang Candra: (Waktu Purnama)

Om Candra mandala sampurnam,

candra yanti pranamyanam,

Candra dipa param jyotir,

namo candra namostute.

Om Hrang Hring Sah parama siwa Candra amertha ya namah swaha.


2. Muspa kepada Sang Hyang Surya: (Waktu Tilem)

Om Surya jagatpathi Dewam

Surya netram tri bhuh lokham

Dewa Dewam Maha Saktyam

Brahma Surya Jagatpati.

Om Hrang Hring Sah parama siwa surya amertha ya namah swaha.

Atau bisa juga menggunakan mantra berikut :

Om Bhaskaraya vidmahe

Diwakaraya dhimahi

Tanno surya pracodayat

Om Hrang Hring Sah Parama Siwāditya ya namah swaha.


3. Muspa kepada Sang Hyang Mahadewa (Hari Raya Galungan dan Kuningan) :

Om Girimurti mahawiryam

Mahadewa pratistha lingam

Sarwa dewa pranamyanam

Sarwa jagat pratisthanam

Om Giriphati dipata ya namah swaha.


4. Muspa kepada Sang Hyang Saraswati (Hari Raya Saraswati)

Om Saraswati namostubhyam

Warade kama rupini

Sidhir astu karaksami

Sidhir bhawantu me sadham.

Om padma patram wimalaksmi

Padma kçara nandini

Nityam padma laya dewi

Tubhyam namah Saraswati.

Om Brahma putri maha dewi

Brahmanye Brahma nandini

Saraswati sajna yani

Praya naya Saraswati.

Om Sang Saraswati sweta warna ya namah

Om Bang Saraswati rakta warna ya namah

Om Tang Saraswati pita warna ya namah

Om Ang Saraswati kresna warna ya namah

Om Ing Saraswati wiçwa warna ya namah swaha.


5. Muspa kepada Sang Hyang Paramesti Guru (Hari Raya Pagerwesi):

Om Guru dewa guru rupam,

Guru madyam guru purwam,

Guru pantaram dewam,

Guru dewa sudha nityam,

Om Paramesti Guru paduka byo namah swaha.


6. Muspa kepada Sang Hyang Pasupati (Waktu Tumpek Landep):

Om Sang Hyang Pasupati Ang Ung Mang namah,

Om Brahma astra pasupati

Wisnu astra pasupati

Siwa astra pasupati

Om Sri pasupati ya namah swaha.


7. Muspa kepada Sang Hyang Sangkara (Waktu Tumpek Wariga):

Om Giri dewa ratna wiryam,

Syama rupam murthi bhuwanam,

Sangkara dewa salinggam,

Sarwa dewa pranamyakam.

Om Sangkara dewa amertha ya namah swaha.


8. Muspa kepada Sang Hyang Iswara (Waktu Tumpek Krulut):

Om Giri murti sweta warnam,

meru rajata bhaswaram,

Purwa desa pratistanam,

purwa Iswara arcanam.

Om Mang Iswara dewa amertha ya namah swaha.


9. Muspa kepada Sang Hyang Siwa Pasupati / Rare Angon (Waktu

Tumpek Uye/Tumpek Kandang):

Om Sang Hyang Siwa Pasupati

Ang-Ung-Mang ya namah,

Om Brahma astra pasupati,

Visnu astra pasupati,

Siva astra pasupati,

Om Siva sampurna ya namah svaha.


10. Muspa kepada Sang Hyang Iswara (Waktu Tumpek Wayang)

Om Giri murti sweta warnam,

meru rajata bhaswaram

Purwa desa pratistanam,

purwa Iswara arcanam.


11. Muspa di Pura Desa kepada Hyang Brahma:

Om Isana sarwa widyanam,

iswara sarwa bhutanam,

brahmano dhipati brahma,

siwa astu sada ciwaya,

Om Brahma dipata ya namah swaha.


12. Muspa di Pura Puseh kepada Hyang Wisnu:

Om Ung Namo Wisnu tri mukhanam,

Tri nayanam catur bhuyam

Kresna warnam sephatikantam,

Sarwa bhusana nilanam

Om Subhagyam astu tat astu astu swaha.


13. Muspa di Pura Dalem kepada Hyang Siwa Durga:

Om Catur Dewi mahasakti

Catur asrame bhatari

Siwa jagatpati dewi

Durga mā sarira dewi

Om Durga dewi dipataya namo namah swaha.


14. Muspa di Pura Prajapati kepada Hyang Brahma Prajapati:

Om Brahma Prajapati srethah

Swayambhur varado guruh

Padmayoni catur vaktra

Brahma sakalam ucyate

Om Ang Brahma Prajapati ya namah swaha.


15. Muspa di Pura Segara kepada Hyang Waruna:

Om Nagendra krùra mùrtinam

Gajendra matsya waktranam 

Varuna dewa masariram

Sarwa jagat suddhàtmakam

Om Vam Varuna ya namah swaha.


16. Muspa di Pura Subak/di Sawah kepada Dewi Sri.

Om Sridhana dewika ramya

Sarwa rupawati tatha

Sarwa jnana maniscaiwa

Sri – sri dewi namostute.


17. Muspa di Pura Beji/Sumber mata air kepada Hyang Basuki:

Om Indra giri murti lokam,

nagendra sakti wiryawam

Basuki dewa murtinam,

sarwa dewa sama sukham.


18. Muspa di Sanggar Tawang kepada Hyang Akasa:

Om Akàsam nirmalam sunyam

Guru Dewabhyo màntaram

Siwa nirwana wiryanam

Rekhà Omkara wijayam

Om Akasa dewatabyo namo namah swaha.


19. Muspa kepada Dewi Pertiwi/Ibu Bumi:

Om Pretiwi sariram dewi

Catur dewi mahadewi

Catur asrame bhatari

Siwa bhumi mahadewi.


20. Muspa kepada Sang Hyang Tri Murti:

Om Dewa-dewa tri dewanam,

Tri Murti linggatmanam,

Tri purusha sudha nityam,

Sarwa jagat jiwatmanam.


21. Muspa di Sanggah Kemulan/Rong Tiga:

Om Brahma Wisnu Iswara dewam

Tri purusha suddhātmakam

Tridewa tri murti lokham

Sarwa wigna vinasanam.

Om Brahma Wisnu Iswara dewam 

Jiwatmanam trilokanam

Sarwa jagat pratisthanam

Suda klesa winasanam

Om Aim Sri Gurubyo ya namah swaha.


22. Muspa di Sanggah Penunggu Karang:

Om, Ang Ang Prabhawati sarwa jiwa amertha ya namah swaha,

Om, Ih Ah Ing Sang Bupati ya namah swaha.

Om, Ang Ang Ang Durgamanik Maha Saktyam ya namah swaha.




DAFTAR PUSTAKA


Dwija Kertha, Ida Sri Empu Prama Manik, “Ageman Pemangku”, Seririt-Buleleng.

Gautama, Wayan Budha, “ Tutur Aji Saraswati”, Paramitha Surabaya, 2009.

Sujana, I Made dan Nyoman Susila,”Manggala Upacara”, Paramita Surabaya, 2007.

Swarsi,S,” Upacara Piodalan Alit di Sanggah/Merajan”, Paramita Surabaya, 2003.

Swastika, Ketut Pasek,” Tuntunan Pangastawa”, Pustaka Bali Post, 2008.

Swastika, Ketut Pasek,” Wiku Sasana dan Dasar-dasar Pokok Ajaran Agama Hindhu”, Paramitha Surabaya, 2009.

Swastika, Ketut Pasek,” Parikramaning Pemangku”, Kayumas Agung, 2007.

Watra, I Wayan, “ Mantra dan Belajar Aneka Mantra Kumpulan Berjenis-jenis Mantra”, Penerbit Paramita Surabaya,

2006

Chawdhri, Dr. L. R. 2003. Rahasia Yantra, Mantra dan Tantra. Surabaya : Paramita.

Dana, I Nengah dan Suratnaya, Dewa K. 2013. Mantra Samhita, Himpunan Doa Hindu, Jakarta : Media Hindu

Nyoman Jelantik Oka, Ida Pedanda Gde. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma.

Ada-ada Saja, Demi Raih Suara, Caleg Rela Bersemedi

On Jumat, Juni 09, 2023

 


Ada-ada saja upaya yang dilakukan caleg di Banyuwangi untuk meraup suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 9 April mendatang. Salah satu cara yang dilakukan dengan melakukan ritual semedi.

Salah satu caleg yang melakukan ritual semedi semalam suntuk itu dilakukan Eko Prastyo (28), Caleg DPRD Banyuwangi dari Partai Gerindra. Caleg yang berasal dari asal Dusun Sambirejo Desa Sambimulyo Kecamatan Bangorejo ini melakukan ritual di puncak Gunung Srawet, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo, sejak Kamis (2/4/2009) sore kemarin, dan berakhir Jumat (3/4/2009) pagi tadi ini.

Saat detiksurabaya.com mendatanginya lokasi, masih sempat menyaksikan ritual semedi tersebut sekitar 10 menit. Bau dupa dan kemenyan masih terasa menyengat hidung berpadu dengan minyak wangi beraroma khas.

Seusainya, sisa-sisa abu pembakaran kemenyan dan bungkus dupa yang isinya sisa tinggal separuh mulai dirapikan Eko dengan dibantu seorang asistennya. Tak ketinggalan beberapa bungkusan terbuat dari daun yang isinya beraneka ragam bunga turut dirapikannya.

Tempat tersebut dipilih Eko sebagai lokasi ritual, karena diyakini sebagai salah satu persinggahan Penguasa pantai Selatan, Ratu Nyi Roro Kidul. Selain itu, keberadaan pohon Mbulu Kembar Peris yang tumbuh di tepi jurang puncak gunung tersebut diyakininya sebagai tempat seorang pertapa tua melakukan semedi selama ratusan tahun.

Menurut Eko, selama ia menjadi caleg, ritual semedi di puncak gunung itu sudah dilakukannya sebanyak 5 kali. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa melalui kekuatan magis yang ada di lokasi tersebut.

Selain semedi, ia juga melakukan sembahyang di pura yang berdiri tak jauh dari lokasi pohon Mbulu itu tumbuh.

"Setelah upaya secara politis dan sosial saya tempuh, kini saatnya saya untuk lebih mempersiapkan mental dengan mendekatkan diri pada Sang Hyang Widi," jelas, Caleg Partai Gerindra yang juga pengurus sebuah organisasi kepemudaan Hindhu di Kecamatan Bangorejo tersebut.

Dijelaskannya juga, kalah menang hal yang biasa dalam sebuah Pemilu yang diibaratkannya sebagai sebuah kompetisi tersebut.

Sebab itu pula, ia tidak akan menyesal jika terpaksa keinginannya untuk menjadi anggota dewan gagal, apalagi menjadi gila meski sudah menjual rumah warisan dari orang tuanya untuk membiayai selama masa kampanye tersebut.

"Ingin menang dan takut kalah hal yang wajar dan manusiawi," jawabnya Diplomatis, saat menjawab pertanyaan detiksurabaya.com sesaat sebelum beranjak meninggalkan lokasi semedinya.

Ketika Puja Prarthana di Pura Agung Blambangan

On Rabu, Juni 07, 2023

PURA AGUNG BLAMBANGAN : Eko Prastyo, ketika  upacara Puja Prarthana digelar di Pura Agung Blambangan

Ketiga SMA yang siswanya bergama Hindu telah menggelar upacara Puja Prarthana yang oleh kelas 12, yaitu, SMAN 1 Rogojampi, SMAN 2 Genteng, dan SMAN 1 Srono, Sabtu, 23 Februari 2019. Dan, gelaran upacara tersebut untuk menghadapi jelang pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional [ USBN ] dan Ujian Nasional Berbasis Komputer [ USBN ].

Sementara itu, Eko Prastyo, guru pembina mata pelajaran agama Hindu di ketiga sekolah tersebut mengatakan, bahwa gelaran upacara persembahyangan itu dimaksudkan mengajak para siswa yang didampingi orang tua masing-masing itu melakukan doa bersama di Pura Agung Blambangan, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.

“ Tujuan utama persembahyangan itu diharapkan para siswa diberi kelancaran saat hadapi ujian-ujian sekolah, nanti,” terang Eko, ketika ditemui DIPLOMASINEWS.NET, usai gelaran persembahyangan, Sabtu, 23 Februari 2019.

Lanjutnya, selain diberi kelancaran, para siswa juga memohon kelulusan dengan nilai yang baik supaya bisa diterima di perguruan tinggi negeri. Dan, persembahyangan bersama ini sama pentingnya dengan belajar, sebab selain mempersiapkan diri secara akademik, mereka juga perlu mengimbanginya dengan upaya spiritual.

Dalam persembahyangan di Pura Agung Blambangan yang dipimpin Romo Mangku itu, para siswa menghaturkan sesaji bebantenan berupa Pejati dan Ambengan. Usai persembahyangan memanjatkan lantunan doa, mereka diperciki tirta atau air suci sebagai simbol pembersihan diri. Sebelumnya, acara persembahyangan itu lebih dulu diawali pembacaan kitab suci Bhagawad Gita diwakili oleh dua siswa.

Persembahyangan yang diawali pukul 17.00 WIB tersebut menghadirkan Joko Setioso, duta dharma atau penceramah dari Banyuwangi, sekaligus sebagai duta dharma PHDI Jawa Timur. Dalam cerahnya, ia menekankan betapa pentingnya caracter building atau pembangunan karakter yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Pasalnya, pembangunan karakter itu sebagai  modal dasar setiap siswa untuk menyongsong pekembangan zaman yang semakin hari semakin berkembang sangat cepat.

“Pembangunan karakter itu sangat urgent bagi setiap siswa. Karena hal itu merupakan benteng terakhir untuk mengahadapi gempuran budaya asing yang setiap detik menerjang,” pungkas Joko, ketika diwawancarai, usai ceramah.

Tahun Ajaran Baru, Siswa di Banyuwangi Ini Upacara Upanayana

On Rabu, Juni 07, 2023


Para siswa nampak sudah bersiap melakukan upacara Upanayana (FOTO: Rizki Alfian/TIMES Indonesia)

 Siswa Hindu di Banyuwangi punya cara tersendiri untuk mengawali proses pembelajaran yang dilaksanakan secara formal. Mereka melakukan upacara Upanayana. Upacara ini dilaksanakan bagi seorang anak yang mulai memasuki masa Brahmacari (masa belajar menuntut ilmu pengetahuan).

Seperti yang dilakukan siswa-siswi dari SMA Negeri 1 Srono. Mereka melakukan upacara Upanayana di Pura Agung Blambangan masuk Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Minggu (12/8/2018).

Upanayana merupakan wujud atau peningkatan status seorang siswa (siswa) ke tingkatan yang lebih tinggi. Dalam artian mereka dilahirkan untuk kedua kali secara spiritual dalam menuntut dan mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih menekankan pada pembinaan mental dan moralitas. 

"Acara ini diikuti oleh sejumlah siswa yang beragama Hindu di SMA Negeri 1 Srono, sekitar 26 siswa yang ikut," ujar Guru Pendidikan Agama Hindu SMA Negeri 1 Srono, Eko Prasetyo.

Dikatakan Eko, istilah upanayana berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya perkenalan. Jadi upacara Upanayana adalah masa perkenalan dimana peserta didik baru di lingkungan sekolah yang dilakukan secara spiritual.

"Di samping itu pelaksanaan upacara Upanayana ini lebih mengutamakan pembinaan spiritual, maka dalam penerapannya Upanayana lebih diprioritaskan pada pemahaman ajaran agama Hindu serta bagaimana praktik mengenai ajaran agama Hindu," ungkapnya.

Lebih lanjut, Eko mengatakan, kegiatan Upanayana ini ditandai dengan kegiatan inisiasi atau Pewintenan Saraswati yang bertujuan untuk memohon restu ke hadapan Dewi Saraswati untuk memperoleh anugerah kekuatan lahir bhatin (wahya adhyatmika) dalam memasuki lingkungan baru pada jenjang pendidikan formal.

"Harapannya adalah dalam mengawali proses menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan selalu dalam tuntunan serta bimbingan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai dewaning pangeweruh," terang Eko.

Diyakini dengan anugrah dari Dewi Saraswati, maka peserta didik taat dan berbakti. 

"Sehingga dalam pembelajaran maupun praktik keagamaan dan kegiatan pembelajaran lainnya selalu berhasil, sukses, mendapatkan tuntunan sinar suci dan terbebas dari segala rintangan," tambahnya.

Menurut Eko, tujuan utama dari pelaksanaan Upanayana adalah terwujud generasi Hindu yang berkualitas dan memiliki budi pekerti luhur (suputra), sehingga mereka betul-betul siap mengisi diri dengan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan lain.

Sementara itu di tempat yang sama, tokoh Hindu yang merupakan Duta Dharma PHDI Privinsi Jawa Timur, Joko setioso, menyampaikan bahwa dalam Nitisastra Bab V sloka I dinyatakan,  seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan. Jika sudah berumur dua puluh tahun orang harus kawin, jika sudah setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik, hanya tentang lepasnya nyawa mesti bergura. 

"Inilah gambaran tentang pentingnya penguasaan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam menjalani kehidupan sesuai dengan perkembangan," katanya.

Menurut Joko, masa Brahmacari dalam Catur Asrama merupakan masa belajar secara tekun, ulet dan penuh perhatian tanpa memikirkan kegiatan yang lain diluar aktifitas belajar. Pada masa ini merupakan kesempatan emas untuk menimba ilmu pengetahuan seluas-luasnya.

Pelaksanaan Upanayana mampu membentuk mental psikologis dan spiritual anak melalui kegiatan pengenalan dan pemantapan secara rohani, sehingga betul-betul siap secara lahir dan bathin. 

"Hal yang paling mendasar dari pelaksanaan Upanayana adalah membangun kesadaran siswa untuk selalu sujud bhakti ke hadapan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai sumber dari ilmu pengetahuan," tandasnya. (*)